Berty Alan Lumempouw SH
Oleh: Berty Alan Lumempouw, S.H (Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik)
Konteks Kasus dan Permasalahan Hukum
Kasus korupsi perjalanan dinas DPRD Bitung (2019-2024) melibatkan penyalahgunaan anggaran Rp20 miliar dengan kerugian negara Rp3,3 miliar . Modus operandi mencakup:
1. Perjalanan dinas fiktif ke destinasi seperti Bali dan Raja Ampat, dll
2. Mark-up biaya akomodasi dan transportasi.
3. Manipulasi dokumen termasuk pembakaran bukti senilai Rp2 miliar oleh oknum .
Status Terkini (Per 5 Agustus 2025):
– 7 tersangka ditahan : 5 mantan anggota DPRD 2019-2024 dan 2 ASN Sekretariat DPRD .
– 3 Orang Tsk sebelumnya sudah di tahan (Juni 2025)
– 5 anggota DPRD aktif periode 2024-2029 belum ditetapkan sebagai tersangka meski diduga terlibat .
Inti Permasalahan:
Kesenjangan penanganan hukum antara mantan anggota dewan (sudah diproses) dan anggota aktif (masih bebas) mengikis prinsip equality before the law (UUD 1945 Pasal 27 Ayat 1) .
Mekanisme Hukum dan Kritik Diskriminasi
Dasar Penetapan Tersangka
– Untuk 7 Tersangka : Didasarkan pada bukti manipulasi dokumen, laporan BPKP Sulut, dan pemeriksaan 46 saksi .
– Penangguhan 5 Anggota Aktif : Kejari Bitung beralasan perlu persetujuan Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui ekspose perkara sesuai UU No. 16/2004 Pasal 35 tentang kewenangan Kejagung mengawasi penyidikan pejabat negara .
Pelanggaran Prinsip Equality Before the Law
1. Kesenjangan Prosedural :
– Mantan anggota dewan ditahan sejak Juli 2025, sementara anggota aktif dengan bukti serupa belum disentuh .
– Kejari mengajukan 12 calon tersangka, tetapi Kejagung hanya menyetujui 7 orang (non-aktif) .
2. Potensi Intervensi Politik :
– Anggota aktif memiliki akses kekuasaan untuk memengaruhi proses hukum. Masyarakat sipil (seperti AMAK Sulut) mengecam ini sebagai diskriminasi sistematis.
Tabel: Perbandingan Status Hukum Tersangka
| Aspek | Mantan Anggota DPRD | Anggota DPRD Aktif |
| Jumlah Tersangka | 5 orang (ditahan) | 5 orang (belum ditetapkan) |
A. Dasar Penetapan | Bukti dokumen fiktif | Bukti serupa (tapi tertunda) |
B. Tingkat Kerugian | Termasuk dalam Rp3,3 miliar | Diduga terlibat dalam modus |
C. Upaya Penghambatan| Dokumen Rp2 miliar dibakar | Mobilitas tinggi (ke LN) |
Faktor Penghambat Penegakan Hukum
1. Birokrasi Berlapis :
Mekanisme ekspose Kejagung melibatkan prosedur kompleks dan pertimbangan politik, memperlambat penetapan tersangka .
2. Penghilangan Bukti Strategis :
Pembakaran dokumen senilai Rp2 miliar menyulitkan penyidikan terhadap anggota aktif .
3. Mobilitas Tersangka :
Kejari Bitung mengajukan cekal 26 orang (17 anggota dewan + 9 ASN) ke Imigrasi karena beberapa berada di Jepang dan AS .
Implikasi Hukum dan Sosial
1. Erosi Kepercayaan Publik :
LSM anti-korupsi yang awalnya mendukung Kejari, mulai mempertanyakan independensinya .
2. Preseden Impunitas :
Penundaan memberi sinyal bahwa status politik dapat menjadi tameng hukum, bertentangan dengan semangat UU Tipikor .
3. Risiko Pembusukan Bukti :
Keterlambatan memberi celah intervensi saksi dan penghancuran bukti lanjutan .
Rekomendasi Perbaikan Sistemik
Jangka Pendek:
1. Percepat Ekspose Kejagung :
Kejari Bitung wajib mendesak Kejagung segera gelar ekspose perkara untuk sahkan penetapan 5 anggota aktif sebagai tersangka.
2. Audit Independen :
Libatkan BPKP dan auditor eksternal untuk melacak aliran dana ke pihak ketiga (hotel/agen perjalanan) .
Jangka Panjang:
1. Revisi UU Kejaksaan :
Batasi kewenangan Kejagung menunda penyidikan pejabat aktif kecuali alasan force majeure.
2. Pengawasan Hybrid :
Bentuk tim pengawas gabungan (Komisi Yudisial, KPK, LSM) untuk pantau kasus pejabat aktif.
3. Sanksi Prosedural :
Terapkan sanksi pidana bagi penghambat proses hukum (e.g., pembakar bukti, pelaku obstruction of justice) .
Kesimpulan: Birokrasi vs. Keadilan
Kasus Bitung membuka borok dilema struktural penegakan hukum Indonesia :
1. Birokrasi Kejagung sebagai “filter politik” justru mengerdilkan prinsip equality before the law.
2. Diskriminasi prosedural terhadap anggota aktif mengukuhkan kultur impunitas yang dikecam UU Tipikor.
> Catatan Kritis : Jika Kejagung gagal menuntaskan ekspose dalam 30 hari, kasus ini akan menjadi preseden buruk bagi pemberantasan korupsi daerah. Masyarakat telah menunggu tindakan nyata, bukan janji birokrasi .
—
Dokumen Rujukan :
– UUD 1945 Pasal 27 Ayat 1 (Equality Before the Law).
– UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan.
– UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perubahan atas UU No 31 Tahun 1999