Catatan: Hesty D.Sondakh, IRT, Masyarakat Biasa Kota Manado
Pagi itu Pasar 8 Karombasan atau Pasar Pinasungkulan Manado yang selalu ramai dengan aktivitas jual beli berubah keramaiannya menjadi teriakan-teriakan hiteris ketakutan yang didominan para ibu. Ada juga suara bapak-bapak yang berusaha menenangkan bahkan melerai tawuran para anak muda yang membawa panah wayer dan sajam. Video tarkam itu pun langsung berseliweran di Medsos. Padahal belum sepekan dua kasus penikaman terjadi di wilayah lain kota ini.
Belum juga tawuran antar-kampung (Tarkam) yang terjadi di sebuah gang sempit di pinggiran pusat kota, suara teriakan memecah kesunyian. Beberapa pemuda saling lempar batu, sebagian mengacungkan parang. Polisi tiba belasan menit kemudian, membubarkan kerumunan. Pagi harinya, kabar tersebar: satu korban kritis, pelaku melarikan diri. Kejadian ini hanyalah satu dari puluhan kasus tawuran antar-kampung (tarkam) yang mengguncang Manado sejak awal tahun.
Data Polresta Manado menunjukkan tren mengkhawatirkan: penangkapan pemuda dengan senjata tajam meningkat, dan kasus penikaman kini menjadi berita rutin. “Kalau dulu hanya berkelahi, sekarang bawa samurai, parang dan panah wayer. Fatal,” ujar seorang petugas yang enggan disebutkan namanya.
Dibalik angka kriminalitas, saya melihat ada tersimpan potret sosial yang rapuh. Banyak pelaku adalah pemuda pengangguran, putus sekolah, atau terjebak dalam kelompok yang membentuk identitas lewat kekerasan. Persaingan wilayah dan dendam lama menjadi bahan bakar, sementara akses mudah terhadap senjata tajam membuat setiap perselisihan berpotensi mematikan. “Ini bukan sekadar soal hukum. Ada krisis ruang aman dan kegiatan positif untuk anak muda,” kata seorang aktivis komunitas lokal.
Media sosial mempercepat ledakan konflik. Satu video provokatif, satu komentar menantang, cukup untuk mengumpulkan puluhan orang dalam hitungan jam.
Dari hasil investigasi, titik panas kekerasan kerap berulang di kelurahan yang sama. Di sana, aparat rajin patroli, tetapi bentrokan tetap terjadi. Para ahli menilai, intervensi harus memadukan penegakan hukum, pembinaan ekonomi, pembukaan ruang kreatif, dan pengawasan distribusi senjata tajam. Tanpa itu, Manado berisiko terus terjebak dalam lingkaran kekerasan.
Masyarakat pun mulai resah termasuk saya yang memiliki anak remaja laki-laki. Dulu anak-anak bisa main sampai malam. Sekarang saya was-was jika anak belum sampai di rumah setelah kegiatan ekskul. Di tengah ketakutan itu, satu hal jelas: keamanan bukan hanya tugas polisi, tapi juga soal bagaimana kota ini merajut kembali ikatan sosial yang mulai terurai.
Ada beberapa hal yang perlu dicermati dari beberapa kejadian yang terjadi belakangan ini menurut saya. Dari Perspektif Sosiologi saya melihat fenomena ini dipengaruhi oleh kombinasi faktor struktural dan kultural. Dimana melemahnya kontrol sosial di tingkat komunitas membuat konflik kecil mudah berkembang menjadi kekerasan. Identitas kelompok berbasis wilayah dan rivalitas lama antar-pemuda menjadi pemicu yang sering berulang. Belum juga akses yang mudah terhadap senjata tajam memperparah tingkat fatalitas konflik yang sebelumnya mungkin hanya berupa perkelahian fisik.
Indikator lain menurut saya adalah adanya ketimpangan ekonomi dan pengangguran pemuda di Manado yang menciptakan rasa frustrasi sekaligus memicu pencarian identitas melalui kelompok informal, termasuk geng atau kelompok tarkam. Mungkin minimnya ruang kreatif, fasilitas olahraga, dan kegiatan positif membuat sebagian pemuda mencari pengakuan melalui aksi kekerasan. Karena dibeberapa kasus, pengaruh alkohol dan konflik keluarga mempercepat eskalasi kekerasan itu.
Selain itu, penyebaran provokasi dan video kejadian melalui media sosial mempercepat mobilisasi massa. Dalam hitungan jam mungkin juga menit, isu lokal dapat menjadi pemicu pertemuan kelompok yang berakhir bentrokan. Fenomena ini menunjukkan bahwa dinamika konflik kini tidak hanya berlangsung di lapangan, tetapi juga di ranah digital yang sulit dikendalikan jika tidak ada literasi dan pengelolaan informasi.
Menurut saya ibu rumah tangga yang juga masyarakat biasa di kota ini, solusi yang efektif harus bersifat holistik. Dimana penegakan hukum perlu diiringi program pencegahan, seperti pelatihan kerja, revitalisasi forum mediasi lokal, pengawasan ketat peredaran senjata tajam, dan pembinaan pelaku muda untuk reintegrasi ke masyarakat. Selain itu, literasi media sosial menjadi kunci untuk mencegah penyebaran provokasi yang memicu kekerasan. Tanpa pendekatan terintegrasi, saya kira upaya penanganan hanya akan bersifat sementara dan berisiko gagal memutus siklus konflik di Manado.
Ingat, bahwa keamanan sebuah daerah bukan hanya menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum dan pemerintah. Tapi disitu ada peran serta semua masyarakat kota termasuk tokoh agama.(*)